BAB
I
Reformasi
Birokrasi
A.
Latar belakang
Dimulai dari dalam prefektif ruang dan waktu yang kini menjadi penting
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Semakin berkembangnya pelayanana yang
diakukan dalam menjalankan roda kepemerintahan membuat pemerintah harus
berkerja ekstra keras dalam pelayanan yang publik. Dalam Era keterbukaan yang
kini dalam proses membuat dampak yang tidak searah dengan peradaban tatanan
kepemerintahan, membuat pelayanan yang seutuhnya untuk kepentingan rakyat.
Satu demi satu simbol-simbol reformasi sudah mulai diperesentasikan
dalam berbagai bentuk,baik dibidang demokrasi, penegakan hak asasi manusia,
supermasi hukum dan juga penataan birokrasi sesuai dengan prisip-prinsip ketata
negaraan yang baik. Untuk yang terakhir kalinya pemerintah menempuh kebijakan
melalui upaya percepatan penataan berpemerintahan yang baik tersebut dengan
memberikan tanggung jawab penuh kepada kementrian negara untuk menjalankan tugas tersebut. penambahan
nama ”Reformasi Birokrasi” itu, bukan sekedar nama tetapi dibalik itu memaksa
kepada seluruh aparatur penyelengapan makna negara termasuk segala pegawai
negeri sipil untuk mereposisi diri dan menyesuaikan dengan semangat reformasi pemerintaha
tersebut.
Harga mati yang tidak dapat
ditawar lagi, karena suasana perubahan di era reformasi saat ini dianalogikan
sebagai cara berpikir yang lama, kalangan aparatur negara perilaku fiodalitik
yang sering tercermin yaitu minta di layani, merubah sosok yang tangguh
melayani rakyat. Tetapi untuk membalikan perilaku aparatur negara tersebut
bukan sesuatu yang mudah, walaupun parameter kehidupan ke aerah tersebut sudah
mulai nampak kepermukaan dan yang lebih penting lagi adalah memperoleh
pengakuan masyarakat luas. Berbagai persiapan dilakukan untuk menyiapkan
pemerintahan yang benar-benar reformis, baik upaya penyempurnaan system
peraturan hingga memfokuskan untuk mentalitas dan moralitas segenap aparatur negara.
Semuanya itu hanyalah system untuk mencapai tujuan hingga suatu saat
nantinya benar-benar akan sampai kegerbang “kepuasan public” akar penopang untuk
memperkuat pencapaian target tersebut sangat tergantung sejauh mana kualitas
perilaku setiap individu aparatur negara. Jika melihat rumitnya formulasi
birokrasi itu, patut di pertimbangkan perubahan alur berfikir segenap aparatur
negara melaui”Out of the box” dengan memposisikan diri seperti warga negara
yang menuntut adanya reformasi birokrasi tersebut. seperti halnya proses
pelayanan public yang menjdi bagian dari reformasi birokrasi, seperti
penyelengara negara yang memiliki kepekaan social seperti itu nantinya akan
lebih professional dalam hal memahami kehendak masyarakat sehingga apa yang
mereka dedikasikan akan membuahkan pengakuan rakyat agar timbul pemerintan yang
bersih dan berwibawah.
B.
Permasalahan
Berdasrkan latar belakang masalah tersebut
penulis menemukan beberapa permasalahan dari reformasi birokrasi RI, maka dapat
di rumuskan sebagai berikut:
1. Dengan adanya reformasi birokrasi
RI apakah dapat seutuhnya membatu ketata negaraan Indonesia pada saat ini.
2.
Bagaimana dengan reformasi birokrasi RI pada saat ini apakah belum ada
perubahan yang positif dari penerapannya atau kah system yang tidak berjalan
maksimal.
BAB
II
Pembahasaan
C. PERUBAHAN DALAM
KETATA NEGARAAN INDONESIA MELALUI REFORMASI BIROKRASI
jika kita melihat istilah reformasi dalam kamus besar
bahasa Indonesia diartikan sebagai “perubahan
radikal untuk perbaikan dalam suatu masyarakat atau negara” dari kata tersebut
dapat diartikan bahwa perubahan yang dimaksud adalah perubahan pelayanan
kemasyarakat untuk mewujudkan suplemasi
politik yang lebih baik. Sedangak birokrasi diartikan sebagai
officialdom atau kerajaan pejabat, suatu kerajaanya para pejabat dari suatu
bentuk organisasi yang digolongkan modern dan didalamnya terdapat tanda-tanda
bahwa seseorang mempunyai Yuridiksi tersebut seseorang yang mempunyai tugas dan
tanggungg jawab resmi yang menjelaskan batas-batas kewenangan pemerintah
terhadap masyarakatnya.
Mereka bekerja dalam tatanan hirarki sebagai perwujudan dari tingkatan
otoritas kekuasaan yang mempunyai skill berdasarkan keahlian masing-masing.
Selain itu dalam ketata negaran tersebut proses komunikasinya berdasarkan
dokumen tertulis. Konsep reformasi birokrasi Weber yang dianut dalam organisasi
pemerintahan banyak memperlihatkan cara-cara pemerintahan. Pejabat pemerintah banyak menuai kritikan
salah satunya Warren Bennis (1967) didalam tulisannya Personnal Administration
(1967) sebagi jatuhnya demokrasi
Weberian sekitar 25 sampai 50 tahun yang akan datang kritikan tersebut
didasarkan terhadap suatu prinsip evolusi bahwa setiap jaman tertentu akan
mengembangkan tata sitem demokrasi sesuai dengan tuntutan jaman.
Walaupun kosep birokrasi tidak menduduki tingkat sentral namun kosepnya
sangat berkaitan dengan struktur kekuasaan dalam masyarakat. Pandangan terhadap
birokrasi hanya bisa dipahami dalam kerangka umum seperti teori tentang
perjuangan klas, krisis kapitalisme, dan pengembangan komunisme. Berdasarkan
konsep pemikiran seperti itu, maka birokrasi itu sendiri pada tingkatan tertentu
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kelas yang dominan dalam pemerintah.
1. reformasi birokrasi di Indonesia
Pada tahun 1945 reformasi birorokrasi
belum muncul kepermukaan saat kepemerintahan Ir. Sukarno semenjak itu reformasi
birokrasi hanya ada di kalangan kepemerintahan. Setelah lahirnya Maklumat X
Wakil presiden, memunculkan kebebasan adanya partai politik didalam
kepemerintahan.
Sebelumnya kabinet yang ada di pemerintah di sebut kabinet presidensial
setelah adanya Maklumat membuat tokoh nasional yang vocal, syahrir untuk
membentuk kabinet parlementer, inilah
pertama adanya penyimpangan terhadap UUD 45, karena undang-undang dasar ini menetapkan
mengikuti pemerintah presidensial akan tetapi kenyataannya diarahkan
berdasarkan maklumat kesistem parlementer.
Mulai saat itu kabinet kedua dan
seterusnya di jabat oleh orang-orang dari partai politik dan bertanggung jawab
oleh parlementer. Akan tertapi pada tanggal 29 januari 1948 kabinet parlementer
yang dipimpin Amir Syahrifuddin II dari partai politik jatuh, dan digantikan
kabinet presiden sial yang di ketuai oleh Ir.soekarno Hatta saat itu pula
reformasi birokrasi mulai berkembang di indonesia.
2. perubaha paradigm reformasi
birokrasi dalam pembangunan administrasi pemerintah.
Sejalan dengan keinginan untuk melakukan
reformasi itu maka perubahan paradigm dalam manajemen pemerintahan berlangsung
dengan cepat. Perubahan paradigm dari orentasi system manajemen pemerintah yang
sarwa negara menjadi berorentasi ke pasar (market ) selama ini manajemen
kepemerintah mengikuti paradigm yang lebih mengutamakan kepentingan negar.
Kepentigan negara yang dijadikan pertmbangan ddalam mengatasi segala macam
persoalan yang timbul.
Pasar, dalam istilah politiknya bisa berupa rakyat atau masyarakat
(publik) di jadikan sebagai factor pertimbangan. Orentasi manajemen diarahkan
kemasyarakat, aspirasi masyarakat menjadi penting artinya untuk menjadikan
bahan pertimbangan pemerintah. Kepentingan masyarakat dan publik menjadi dasar
utama dalam mengatasi persoalan yang timbul. Hal ini berarti membuat pemerintah
dalam menata manajemennya harus transparan, tidak tertutup ddan memanipulasi
kerahasiaan serta memenuhi aspirasi rakyat. Perubahan paradigm dari orentasi
lembaga pemerintah yang kuat, besar otoriatan menjadi berorentasi kepada small
dan lessgovernment egalitarian dan demokrasi. Kecendrungan orentasi yang
mementingkan aspirasi negara bisa
melahirkan system yang bersifat otoritarian.pendekatan kekuasaan yang
terkonsentrasi kepada satu orang cenderung mengabaikan kepentingan rakyat
banyak. Paradigm semacam itu yang mengutamakan pelayanan kepada masyarakat.
Kedaulatan rakyat yang
menjadiperioritas pertama jika menginginkan tatanan pemerintah yang demokratis.
Dari sentralisasi menjadi desentralisasi kewenangan pemerintah lebih condong
dilakukan secara sentral, seperti yang telah diuraikan, kegiatan mulai
dirumuskan sebagai kebijaksanaan yang dilakukan secara terpusat seperti
implementasi dan evaluasi kebijaksanaan yang sekarang ini cenderung kencang dan
kemauan yang keras dan menerapkan paradigma baru dalam menjalankan system
kebijakannya.
3. Lembaga masyarakat
Lemaga masyarakat adalah tempat
berkumpulnya masyarakat untuk menyuarakan aspirasinya jika itu bertentangan
dengan apa yang seharusnya dilakukan. Perkumpulan ini sebagai maksud untuk
menyatukan pendapat mereka dalam setiap peroalan yang bertentangan tersebut
agar tidak terjadi tupang tindih nantinya. Secara individual manusia dilahirkan
tidak ada yang sama baik fisik maupun idealistiknya, demokrasi pada hakekatnya
mendasarkan perbedaan individu dengan menghargai adanya perbedaan manusia
menurut asasinya ini maka bangunan demokrasi harus di tegakan.
Pertanyannya bagaimana moral perbedaan itu membawa ketidak hancuraan?
Didalam masyarakat sipil atau madani yang demokratis tersebut, nilai moral
perbedaan (moral disagreement) melekat terhadapnya dan orang dapat berbeda
pendapat bukan berarti musuh. Keberanian untuk dapat menyatakan sesuatu yang
berbeda dengan orang lain merupakan warna dari moral. Moral perbedaan seperti
ini dilestarikan sebagai kebiasaan yang melembaga. Lembaga ini berkaitan dengan
politik maka proses pembuatan kebijakan harus dijalankan oleh lembagapelaksana
atau atministrasi publik atu dengan kata lain lembaga eksekutif.
BAB
III
D.
Kesimpulan
Dalam kaitannya dengan
penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi sebagai ujung tombak pelaksana
pelayanan publik mencakup berbagai program pembangunan dan kebijaksanaan
pemerintah. Akan tetapi dalam kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk
melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali
mendapatkan kesan berbeda dari pandangan masyarakat. Birokrasi di dalam menyelenggarakan
tugas pemerintahan dan pembangunan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan
pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila
masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan.
Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan
bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan publik).
Oleh karena itu, untuk menanggulangi kesan buruk birokrasi yang telah ada selama
ini, perlu dilakukan beberapa perubahan sikap dan perilaku berkaitan dengan birokrasi
dan pelakunya (birokrat), antara lain seperti di bawah ini.
1. Birokrasi harus lebih mengutamakan
sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan
masyarakat, serta menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan.
2. Birokrasi perlu melakukan
penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif,
dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan
yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan
kepada masyarakat).
3. Birokrasi harus mampu dan mau
melakukan perubahan sistem dan prosedur kerjanya yang lebih berorientasi pada
ciri-ciri organisasi modern, yaitu pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka
dengan tetap mempertahankan kualitas, efesiensi biaya, dan ketepatan waktu
4. Birokrasi harus memosisikan diri sebagai
fasilitator pelayan publik alih-alih sebagai agen pembaharu (agent of change)
pembangunan Birokrasi.
5. Birokrasi harus mampu dan mau
melakukan transformasi diri dari birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid)
menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif,
fleksibel, dan responsif. Dari pandangan tersebut di atas, dapat disimpulkan
bahwa organisasi birokrasi yang mampu memberikan pelayanan publik secara
efektif dan efesien kepada masyarakat, salah satunya jika strukturnya lebih
terdesentralisasi dari pada tersentralisasi. Struktur yang desentralistis
diharapkan akan lebih mudah mengantisipasi kebutuhan dan kepentingan yang
diperlukan oleh masyarakat, sehingga dengan cepat birokrasi dapat menyediakan
pelayanannya sesuai yang diharapkan masyarakat pelanggannya. Sedangkan dalam
konteks persyaratan budaya organisasi birokrasi, perlu dipersiapkan tenaga
kerja atau aparat yang benar-benar memiliki kemampuan (capability),
memiliki loyalitas kepentingan (competency), dan memiliki keterkaitan
kepentingan (consistency atau coherency).
E. DAFTAR PUSTAKA
1. Layanan publik. Com
2. Agus Suryono, “Budaya Birokrasi
Pelayanan Publik,” <http://publik.brawijaya.ac.id/simple/
us/jurnal/pdffile/7Budaya%20Birokrasi%20Pelayanan%20Publik-Agus%20Suryono.pdf>,
diakses pada 26
Mei 2012, hal. 5.
3. Profesor. Dr. Miftah Thoha. 2005.
Birokrasi Politik. Jakarta. Rajawali pers