Senin, 08 Oktober 2012

Revitalisasi layanan Publik


BAB I
Reformasi Birokrasi
A. Latar belakang
   Dimulai dari dalam prefektif ruang dan waktu yang kini menjadi penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Semakin berkembangnya pelayanana yang diakukan dalam menjalankan roda kepemerintahan membuat pemerintah harus berkerja ekstra keras dalam pelayanan yang publik. Dalam Era keterbukaan yang kini dalam proses membuat dampak yang tidak searah dengan peradaban tatanan kepemerintahan, membuat pelayanan yang seutuhnya untuk kepentingan rakyat.
   Satu demi satu simbol-simbol reformasi sudah mulai diperesentasikan dalam berbagai bentuk,baik dibidang demokrasi, penegakan hak asasi manusia, supermasi hukum dan juga penataan birokrasi sesuai dengan prisip-prinsip ketata negaraan yang baik. Untuk yang terakhir kalinya pemerintah menempuh kebijakan melalui upaya percepatan penataan berpemerintahan yang baik tersebut dengan memberikan tanggung jawab penuh kepada kementrian negara  untuk menjalankan tugas tersebut. penambahan nama ”Reformasi Birokrasi” itu, bukan sekedar nama tetapi dibalik itu memaksa kepada seluruh aparatur penyelengapan makna negara termasuk segala pegawai negeri sipil untuk mereposisi diri dan menyesuaikan dengan semangat reformasi pemerintaha tersebut.
    Harga mati yang tidak dapat ditawar lagi, karena suasana perubahan di era reformasi saat ini dianalogikan sebagai cara berpikir yang lama, kalangan aparatur negara perilaku fiodalitik yang sering tercermin yaitu minta di layani, merubah sosok yang tangguh melayani rakyat. Tetapi untuk membalikan perilaku aparatur negara tersebut bukan sesuatu yang mudah, walaupun parameter kehidupan ke aerah tersebut sudah mulai nampak kepermukaan dan yang lebih penting lagi adalah memperoleh pengakuan masyarakat luas. Berbagai persiapan dilakukan untuk menyiapkan pemerintahan yang benar-benar reformis, baik upaya penyempurnaan system peraturan hingga memfokuskan untuk mentalitas dan moralitas segenap aparatur  negara.
   Semuanya itu hanyalah system untuk mencapai tujuan hingga suatu saat nantinya benar-benar akan sampai kegerbang “kepuasan public” akar penopang untuk memperkuat pencapaian target tersebut sangat tergantung sejauh mana kualitas perilaku setiap individu aparatur negara. Jika melihat rumitnya formulasi birokrasi itu, patut di pertimbangkan perubahan alur berfikir segenap aparatur negara melaui”Out of the box” dengan memposisikan diri seperti warga negara yang menuntut adanya reformasi birokrasi tersebut. seperti halnya proses pelayanan public yang menjdi bagian dari reformasi birokrasi, seperti penyelengara negara yang memiliki kepekaan social seperti itu nantinya akan lebih professional dalam hal memahami kehendak masyarakat sehingga apa yang mereka dedikasikan akan membuahkan pengakuan rakyat agar timbul pemerintan yang bersih dan berwibawah.
B.  Permasalahan
Berdasrkan latar belakang masalah tersebut penulis menemukan beberapa permasalahan dari reformasi birokrasi RI, maka dapat di rumuskan sebagai berikut:
1. Dengan adanya reformasi birokrasi RI apakah dapat seutuhnya membatu ketata negaraan Indonesia pada saat ini.
2.  Bagaimana dengan reformasi birokrasi RI pada saat ini apakah belum ada perubahan yang positif dari penerapannya atau kah system yang tidak berjalan maksimal.

BAB II
Pembahasaan

C. PERUBAHAN DALAM KETATA NEGARAAN INDONESIA MELALUI REFORMASI BIROKRASI
jika kita  melihat istilah reformasi dalam kamus besar bahasa  Indonesia diartikan sebagai “perubahan radikal untuk perbaikan dalam suatu masyarakat atau negara” dari kata tersebut dapat diartikan bahwa perubahan yang dimaksud adalah perubahan pelayanan kemasyarakat untuk mewujudkan suplemasi  politik yang lebih baik. Sedangak birokrasi diartikan sebagai officialdom atau kerajaan pejabat, suatu kerajaanya para pejabat dari suatu bentuk organisasi yang digolongkan modern dan didalamnya terdapat tanda-tanda bahwa seseorang mempunyai Yuridiksi tersebut seseorang yang mempunyai tugas dan tanggungg jawab resmi yang menjelaskan batas-batas kewenangan pemerintah terhadap masyarakatnya.
   Mereka bekerja dalam tatanan hirarki sebagai perwujudan dari tingkatan otoritas kekuasaan yang mempunyai skill berdasarkan keahlian masing-masing. Selain itu dalam ketata negaran tersebut proses komunikasinya berdasarkan dokumen tertulis. Konsep reformasi birokrasi Weber yang dianut dalam organisasi pemerintahan banyak memperlihatkan cara-cara pemerintahan.  Pejabat pemerintah banyak menuai kritikan salah satunya Warren Bennis (1967) didalam tulisannya Personnal Administration (1967)  sebagi jatuhnya demokrasi Weberian sekitar 25 sampai 50 tahun yang akan datang kritikan tersebut didasarkan terhadap suatu prinsip evolusi bahwa setiap jaman tertentu akan mengembangkan tata sitem demokrasi sesuai dengan tuntutan jaman.
   Walaupun kosep birokrasi tidak menduduki tingkat sentral namun kosepnya sangat berkaitan dengan struktur kekuasaan dalam masyarakat. Pandangan terhadap birokrasi hanya bisa dipahami dalam kerangka umum seperti teori tentang perjuangan klas, krisis kapitalisme, dan pengembangan komunisme. Berdasarkan konsep pemikiran seperti itu, maka birokrasi itu sendiri pada tingkatan tertentu mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kelas yang dominan dalam pemerintah.
1. reformasi birokrasi di Indonesia
Pada tahun 1945 reformasi birorokrasi belum muncul kepermukaan saat kepemerintahan Ir. Sukarno semenjak itu reformasi birokrasi hanya ada di kalangan kepemerintahan. Setelah lahirnya Maklumat X Wakil presiden, memunculkan kebebasan adanya partai politik didalam kepemerintahan.
   Sebelumnya kabinet yang ada di pemerintah di sebut kabinet presidensial setelah adanya Maklumat membuat tokoh nasional yang vocal, syahrir untuk membentuk kabinet parlementer,  inilah pertama adanya penyimpangan terhadap UUD 45, karena undang-undang dasar ini menetapkan mengikuti pemerintah presidensial akan tetapi kenyataannya diarahkan berdasarkan maklumat kesistem parlementer.
    Mulai saat itu kabinet kedua dan seterusnya di jabat oleh orang-orang dari partai politik dan bertanggung jawab oleh parlementer. Akan tertapi pada tanggal 29 januari 1948 kabinet parlementer yang dipimpin Amir Syahrifuddin II dari partai politik jatuh, dan digantikan kabinet presiden sial yang di ketuai oleh Ir.soekarno Hatta saat itu pula reformasi birokrasi mulai berkembang di indonesia.
2. perubaha paradigm reformasi birokrasi dalam pembangunan administrasi pemerintah.
 Sejalan dengan keinginan untuk melakukan reformasi itu maka perubahan paradigm dalam manajemen pemerintahan berlangsung dengan cepat. Perubahan paradigm dari orentasi system manajemen pemerintah yang sarwa negara menjadi berorentasi ke pasar (market ) selama ini manajemen kepemerintah mengikuti paradigm yang lebih mengutamakan kepentingan negar. Kepentigan negara yang dijadikan pertmbangan ddalam mengatasi segala macam persoalan yang timbul.
   Pasar, dalam istilah politiknya bisa berupa rakyat atau masyarakat (publik) di jadikan sebagai factor pertimbangan. Orentasi manajemen diarahkan kemasyarakat, aspirasi masyarakat menjadi penting artinya untuk menjadikan bahan pertimbangan pemerintah. Kepentingan masyarakat dan publik menjadi dasar utama dalam mengatasi persoalan yang timbul. Hal ini berarti membuat pemerintah dalam menata manajemennya harus transparan, tidak tertutup ddan memanipulasi kerahasiaan serta memenuhi aspirasi rakyat. Perubahan paradigm dari orentasi lembaga pemerintah yang kuat, besar otoriatan menjadi berorentasi kepada small dan lessgovernment egalitarian dan demokrasi. Kecendrungan orentasi yang mementingkan aspirasi negara  bisa melahirkan system yang bersifat otoritarian.pendekatan kekuasaan yang terkonsentrasi kepada satu orang cenderung mengabaikan kepentingan rakyat banyak. Paradigm semacam itu yang mengutamakan pelayanan kepada masyarakat.
    Kedaulatan rakyat yang menjadiperioritas pertama jika menginginkan tatanan pemerintah yang demokratis. Dari sentralisasi menjadi desentralisasi kewenangan pemerintah lebih condong dilakukan secara sentral, seperti yang telah diuraikan, kegiatan mulai dirumuskan sebagai kebijaksanaan yang dilakukan secara terpusat seperti implementasi dan evaluasi kebijaksanaan yang sekarang ini cenderung kencang dan kemauan yang keras dan menerapkan paradigma baru dalam menjalankan system kebijakannya.
3. Lembaga masyarakat
Lemaga masyarakat adalah tempat berkumpulnya masyarakat untuk menyuarakan aspirasinya jika itu bertentangan dengan apa yang seharusnya dilakukan. Perkumpulan ini sebagai maksud untuk menyatukan pendapat mereka dalam setiap peroalan yang bertentangan tersebut agar tidak terjadi tupang tindih nantinya. Secara individual manusia dilahirkan tidak ada yang sama baik fisik maupun idealistiknya, demokrasi pada hakekatnya mendasarkan perbedaan individu dengan menghargai adanya perbedaan manusia menurut asasinya ini maka bangunan demokrasi harus di tegakan.
   Pertanyannya bagaimana moral perbedaan itu membawa ketidak hancuraan? Didalam masyarakat sipil atau madani yang demokratis tersebut, nilai moral perbedaan (moral disagreement) melekat terhadapnya dan orang dapat berbeda pendapat bukan berarti musuh. Keberanian untuk dapat menyatakan sesuatu yang berbeda dengan orang lain merupakan warna dari moral. Moral perbedaan seperti ini dilestarikan sebagai kebiasaan yang melembaga. Lembaga ini berkaitan dengan politik maka proses pembuatan kebijakan harus dijalankan oleh lembagapelaksana atau atministrasi publik atu dengan kata lain lembaga eksekutif.
   


BAB III
D. Kesimpulan
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai program pembangunan dan kebijaksanaan pemerintah. Akan tetapi dalam kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali mendapatkan kesan berbeda dari pandangan masyarakat. Birokrasi di dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan. Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan publik). Oleh karena itu, untuk menanggulangi kesan buruk birokrasi yang telah ada selama ini, perlu dilakukan beberapa perubahan sikap dan perilaku berkaitan dengan birokrasi dan pelakunya (birokrat), antara lain seperti di bawah ini.
1. Birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat, serta menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan.
2. Birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif, dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat).
3. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedur kerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern, yaitu pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, efesiensi biaya, dan ketepatan waktu
 4. Birokrasi harus memosisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik alih-alih sebagai agen pembaharu (agent of change) pembangunan Birokrasi.
5. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif, fleksibel, dan responsif. Dari pandangan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa organisasi birokrasi yang mampu memberikan pelayanan publik secara efektif dan efesien kepada masyarakat, salah satunya jika strukturnya lebih terdesentralisasi dari pada tersentralisasi. Struktur yang desentralistis diharapkan akan lebih mudah mengantisipasi kebutuhan dan kepentingan yang diperlukan oleh masyarakat, sehingga dengan cepat birokrasi dapat menyediakan pelayanannya sesuai yang diharapkan masyarakat pelanggannya. Sedangkan dalam konteks persyaratan budaya organisasi birokrasi, perlu dipersiapkan tenaga kerja atau aparat yang benar-benar memiliki kemampuan (capability), memiliki loyalitas kepentingan (competency), dan memiliki keterkaitan kepentingan (consistency atau coherency).

E. DAFTAR PUSTAKA
1. Layanan publik. Com

2. Agus Suryono, “Budaya Birokrasi Pelayanan Publik,” <http://publik.brawijaya.ac.id/simple/
us/jurnal/pdffile/7Budaya%20Birokrasi%20Pelayanan%20Publik-Agus%20Suryono.pdf>, diakses pada 26
Mei 2012, hal. 5.
3. Profesor. Dr. Miftah Thoha. 2005. Birokrasi Politik. Jakarta. Rajawali pers